Penasaran kenapa ada orang bisa tertarik sama ekstremisme? Yuk, kesini..
Tulisan gue kali ini gue buat karena gue baru aja nonton acara diskusi yang diadain oleh Cangkir Opini pada tanggal 21 Agustus 2021 baik secara online maupun offline. Sedangkan gue sendiri menonton secara online. Acara ini mengangkat tema yaitu Korelasi Gender dan Nilai Islam Wasathiyah, serta mengundang para narasumber yaitu Ali Muthohirin, Luluk Dwi Kumalasari, dan Ika Puspitasari.

Secara singkat yakni profil para narasumber tersebut adalah Ali Muthohirin adalah Ketua Bidang Hikmah dan Hubungan Antar Lembaga PP Pemuda Muhammadiyah. Kemudian Luluk Dwi Kumalasari adalah Ketua Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang. Narasumber selanjutnya yaitu Ika Puspitasari adalah mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hongkong dan Napiter.
Alasan gue tertarik dengan tema ini adalah karena beberapa tahun belakangan gue pernah dengar berita tentang aksi terorisme dimana salah satu pelakunya tersebut adalah wanita dan di satu sisi gue pun pernah menonton film – film yang diputar di event Europe on Screen beberapa tahun silam seperti film The Breadwinner dan Tehran Taboo yang mengangkat isu dan kritik terhadap diskriminasi perempuan di bawah pimpinan pemerintahan yang berlandaskan agama (dalam konteks ini Islam).
Acara ini diawali oleh narasumber Ika Puspitasari yang menceritakan latar belakang ketertarikannya pada organisasi ISIS, hingga kemudian menjadi militan di dalam organisasi tersebut, selanjutnya apa yang kemudian membuatnya memutuskan untuk keluar dari organisasi tersebut, serta apa yang membuatnya pada akhirnya mau membuka diri untuk menceritakan pengalaman hidupnya tersebut kepada masyarakat umum agar tidak ada lagi orang – orang yang terjerumus seperti dirinya.
Awal mula ketertarikannya adalah karena membaca tentang ISIS di secara daring, kemudian secara singkat memutuskan untuk bergabung di grup telegram ISIS. Di grup telegram tersebut secara rutin dirinya mendapat doktrin tentang Islam dari perspektif organisasi tersebut. Sempat menjadi fanatik dengan organisasi tersebut, membuat Ika bukan saja menjadi donatur tetap tetapi juga menyampaikan apa yang telah didoktrinkan kepadanya tersebut kepada teman – temannya di sosial media. Kemudian klimaksnya, dia pun menjadi bagian dari aksi terorisme.
Disebabkan oleh aksinya tersebut, maka Ika resmi ditangkap, diadili, dan kemudian ditahan oleh pemerintah Indonesia. Dari sinilah menurut dia, dia kemudian bertemu dengan orang – orang di luar ISIS dan berdialog dengan mereka mengenai Islam. Setelah berdialog dengan orang – orang tersebut, Ika mulai mengenal konsep Islam Wasathiyah sehingga pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan organisasi tersebut. Secara garis besar konsep ini berarti Islam yang adil dan toleran.
Ada sebutan yang khas untuk mantan organisasi seperti Ika dikalangan para anggota ISIS, yaitu orang seperti Ika disebut sebagai anggota hijau (mantan anggota yang telah bergabung dengan NKRI). Sedangkan untuk anggota yang masih tergabung dengan organisasi tersebut disebut dengan istilah anggota merah.
Acara diskusi kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan dari sisi narasumber yaitu Ali Muthohirin dan Luluk Dwi Kumalasari. Secara garis besar, apa yang diungkapkan oleh dua (2) orang narasumber tersebut agak berlawanan ketika memandang apa yang menjadi penyebab seseorang bergabung ke dalam organisasi ekstrem seperti ini.
Menurut pandangan Luluk, wanita rentan direkrut menjadi anggota untuk kelompok ekstrem karena secara psikologis lebih emosional dibanding laki – laki, apalagi untuk case seperti Ika yang merupakan seorang TKW di Hongkong, dimana TKW biasanya berasal dari masyarakat kelas bawah yang pendidikannya rendah, memiliki masalah ekonomi, dan biasanya pergi merantau untuk bekerja di negeri orang dengan membawa permasalahan keluarga tersendiri (trauma tertentu). Kelompok masyarakat seperti ini dianggap mudah “dicuci otaknya” dengan doktrin ekstremisme.
Namun menurut pandangan Ali Muthohirin, sebagai seorang yang concern di bidang ini sekaligus memiliki kenalan – kenalan yang ikut tergabung dalam organisasi ekstrem, dia berpendapat bahwa tiap gender memiliki potensi yang sama untuk terjerumus ke dalam organisasi ekstrem berbasis agama.
Pendapatnya ini dilandasi pengalaman pribadinya bahwa dia pun memiliki beberapa kenalan yang dahulu pernah mondok bersama untuk menimba ilmu agama (cukup berpendidikan), namun pada akhirnya masuk ke dalam organisasi seperti itu. Baginya, tiap gender memiliki peluang yang sama untuk terjerumus ketika individu tersebut memiliki kerapuhan dalam hal psikologis sehingga mengakibatkan kesulitan dalam berpikir secara jernih atau ketika seseorang berada dalam lingkungan sosial (teman – teman akrab) dengan perspektif yang ekstrem seperti itu.
Sebagai contoh, Ali Muthohirin mencontohkan kisah nyata yang dialami oleh kenalannya (pria) yaitu karena seringnya gagal dalam hal percintaan mengakibatkan si kenalan tersebut (yang telah didoktrin untuk melakukan aksi terorisme) mengganggap aksi ekstremisme tersebut sah – sah saja karena aksi yang dilakukan (menurut yang dipercayai oleh si kenalan tersebut) bisa mengantarkan seseorang menjadi mujahidin. Dimana mujahidin kelak akan mendapatkan syurga (lagi – lagi menurut yang dipercayai oleh si kenalan tersebut) beserta para bidadari, dibandingkan kondisinya saat ini yang selalu gagal dalam percintaan.
Hal ini memang terkesan konyol, hingga para peserta yang hadir secara offline langsung menyambut apa yang disampaikannya dengan gelak tawa. Meskipun gue menonton secara online, tapi gelak tawa ini bisa kedengaran juga sama gue. Gelak tawa tersebut membuat Ali Muthohirin sebagai narasumber kembali menegaskan bahwa ini adalah kisah nyata yang dia temukan terjadi pada kenalannya.

Namun keduanya sepakat, bahwa adanya kecenderungan untuk menggunakan wanita sebagai “pengantin” dikarenakan masih ada stereotip bahwa wanita adalah sosok yang feminin dan lembut, berbeda dengan lelaki yang maskulin dan agresif sehingga wanita sering lolos dari kecurigaan sebagai garda depan di lapangan dalam melakukan aksi tersebut.
Pada akhirnya, kedua narasumber tersebut sepakat bahwa masyarakat seharusnya tidak mengucilkan orang – orang dengan perspektif tersebut, namun justru mengajak berdiskusi secara baik – baik agar dapat memiliki pemahaman yang tepat.
Pada akhirnya yang terpikir di gue adalah (kalau gue ngga salah ya, setahu gue aplikasi telegram masih adalah aplikasi yang ngga bisa dipantau sama pemerintah) gue jadi berpikir ada sisi bahaya yang laten dan fatal banget ketika aplikasi komunikasi ngga bisa dipantau kayak gini.
Kemudian, secara pribadi melihat pandangan para narasumber di atas tentang penyebab adanya fenomena ini adalah gue merasa serem karena pendidikan dengan level yang cukup tinggi ternyata ngga menjamin bahwa seseorang bisa lepas dari fenomena ini karena manusia bagi gue adalah makhluk yang kompleks sehingga bisa aja ada sisi yang menjadi “blind spot” di diri seseorang yang secara ngga sadar bisa berpotensi menjerumuskan orang tersebut ke pemahaman yang ekstrem entah apapun latar belakang agamanya.
Kalau menurut kamu, gimana cara lolos dari ekstremisme?
Agak susah memang kalau berbicara tentang ekstrimisme ini, tidak hanya soal ISIS atau organisasi teroris yang lain, dikarenakan mereka melakukan doktrin yang sangat kuat sekali, hingga seseorang itu rela mengorbankan nyawa hanya untuk sebuah janji yang belum tentu juga terwujud, tapi saya setuju sekali kalo orang orang yang menjadi korban doktrin ISIS atau semacamnya, tidak patut untuk dijauhi apalagi dikucilkan, kalau memang mereka mau kembali dan meninggalkan Ideologi lamanya, bahwa kemanusiaan itu harus diperlakukan sama, tanpa memandang agama atau ideologi sesoorang, dan tidak ada manusia yang berhak atas nyawa manusia yang lain, sekalipun alasannya ingin menggapai surga, karena biar bagaimanapun kita semua sama di mata Tuhan.
Iya, masalah yang kompleks yah 🙂
makasih udah mampir..
Tapi menurutku secara pribadi, setiap orang (laki-laki atau perempuan) bisa terpengaruh untuk melakukan hal-hal ekstrim, dalam hal ini berhubungan dengan isii/teroris. Bahan dan orang yang mendoktrin pun jga punya tingkatannya. Selalu menggunakan berbagai cara dan argumen agar orang tersebut mau bergabung.
Kalau saranku hindari sebuah grup atau kelompok yang sudah terlihat tidak baik. Klompok ini biasanya menganggap ajarannya paling benar, dan ajaran kelompok lain salah. Teguhkan hati, jangan sampai hati merasa kosong. Jika merasa kesepian dan kosong, sebaiknya kembali ke keluarga atau mencari teman untuk diajak berbagi cerita.
Kita perlu mewaspadai aktivitas kelompok macam ini.
Artikel yg bagus feb 🙂
Setuju, kalau sedang “kosong” lebih baik mencari teman yang positif atau kegiatan yang positif karena kalau tetap sendirian pikiran bisa – bisa jadi liar dan mudah dipengaruhi hal – hal yang ngga2 🙂
Makasih udah mampir..
Menarik banget Feb! Tapi emang sih siapa aja bisa jadi terjerumus hal ekstrim gini. Well, I have a step sister who is wearing burka, karena dia bergabung di kelompok tertentu dengan segala macam paham-paham yang diajarkannya, tapi alhamdulillah dia gak mempengaruhi orang sekitar dia, jadi dia berusaha untuk menjadi lebih toleran meskipun penampilannya memakai burka.
Nah dari kakak gue itu gua belajar, seekstrim apa pun pengaruh dari luar, kalo kita sendiri bentengin diri dengan sesuatu hal yang baik, toleransi misalnya, mau gimana pun hal ekstim itu gak bisa nguasain kita, at least tidak sepenuhnya.
Setuju, daus..
Jadi lebih baik dari awal dikenalkan dengan keberagaman ya 🙂
Makasih udah mampir..
Masalah esktremisme dan terorisme memang sangat tidak dibenarkan dan perlu menjadi perhatian bersama. Permasalah lain adalah stereotyping orang-orang dengan atribut keagamaan (dalam hal ini agama Islam) yang diidentikkan dengan pelaku tindakan ekstremisme. Kita perlu waspada tapi bukan berarti kita harus takut terhadap orang-orang yang menggunakan atribut keagaan dan menyamakannya dengan pelaku tindakan ekstremisme.
Nah, maka dari itu perlunya filter dari Kementerian Agama dari tingkat bawah mengenai penceramah. Siapa tahu dengan adanya filter dari pusat, penceramah yang condong ke arah esktremisme dapat disaring agar masyarakat mendapatkan pengetahuan agama dari orang yang tepat.
Setuju, moses..
Tapi setidaknya dengan adanya medsos, “citizen journalism” biasanya udah beraksi untuk kasih tahu siapa2 aja yang syiarnya agak keras..hehe
Thanks udah mampir..
Sekarang wanita dan anak2 malah jadi target untuk menjadi pengantin kaum2 extrimis. Dan mau setinggi apapun derajat sosialnya, jangan sampe mabok agama. Urusan spiritual adalah hak masing2 orang dan sifatnya tak bisa dipaksakan.
Setuju, karena mabok agama ngga berarti cerdas spiritual 🙂
Thanks udah mampir..
Perempuan memang selalu jadi sasaran empuk ya, tapi baik perempuan ataupun laki-laki bisa melakukan hal-hal ekstrim dan tentunya pasti ada faktor penyebabnya.
Bicara soal Telegram, emang rada ngeri sih. Orang bisa seenaknya invite ke grup ga jelas.
Sekarang semua jadi sasaran empuk, kalo batinnya “empuk”..kwkw..
Thanks udah mampir..
Pendidikan emang paling penting sih dalam menghalau paham seperti ini, dengan pendidikan jadinya banyak tau kan. Dengan banyak diskusi, kita jadi banyak tau mana yang benar dan mana yang salah
Pendidikan, lingkungan, dan pola asuh sangat nentuin 🙂
Makasih udah mampir..
Cukup dengan sering jalan jalan, sering ngobrol dengan beragam orang, nah insya Allah cukup tuh buat terhindar dari ekstrimisme
Dan selalu berdoa minta perlindungan Tuhan..hehe..
Makasih udah mampir..
Hal ini masih banyak terjadi, kalau dilihat lihat, akar masalahnya juga ga jauh dari ekonomi. Taraf hidup manusia yang akhirnya bukan lagi bergantung pada apa cita-cita dan motivasi hidup, tapi sudah pada tingkat berpasrah dalam sudut pandang yang sempit.
Betul, ekonomi juga fundamental dalam kasus ini,
Makasih udah mampir..
Ngomongin soal teroris, yang gampang banget kerekrut si biasanya dia yang terlalu fanatik sama golongan tertentu. Dan menurut gw pribadi teroris itu gak punya agama biar pun mereka mengaku agama islam, karena kalo belajar islam lebih dalem mah gak akan mau melakukan kekerasan sampe mati konyol karena bom bundir. Islam selalu mengajarkan kita untuk berpikir.
Setuju, karena di dalam agama ada humanisme jadi ngga mungkin ada ajaran kayak gitu di agama 🙂
Makasih udah mampir..
Memang selain menuntut ilmu, kita juga harus mencari circle yang baik ya, kak, biar ga terpengaruh sama hal-hal negatif.
Setuju 🙂
Makasih udah mampir..
Aku ngakak pas baca pengalaman pembicara tentang temennya yang selalu gagal dalam percintaan dan saking putus asanya akhirnya memilih jadi ekstremis. :))
Memang setiap gender punya potensi yang sama untuk jadi ekstremis. Kalo menurutku langkah kecil untuk menghindarkan diri jadi ekstremis, buka luas pergaulan dan jangan merasa benar sendiri. Perasaan merasa benar sendiri inilah yang menjadi benih untuk menghancurkan orang-orang yang tak sepemahaman dengan dia karena dianggap salah.
Iya, benar sendiri sama dengan sombong terselubung 🙂
Makasih udah mampir..
Menjadi ekstrimis atau tidak, adalah ‘pilihan’. Mereka ada disekitar kita, dan saat ‘merekrut’ mereka tidak asal-asalan.
Saya pernah di ajak diskusi mengenai ketidakadilan, ketidakberdayaan dst yang memicu simpatik kita. Bahwa semestinya kita tidak diam saja. Dst. Sebelum lebih lanjut, saya katakan bahwa saya tidak tertarik membahas hal tersebut. Jadi jangan merasa tidak enak. Tegas dari awal namun tetap santun.
Setuju 🙂
Ini cara yang elegan untuk menghindar dari pengaruh yang negatif.
Makasih udah mampir..
Tulisannya menarik banget beb. Menurut gua ada banyak alasan untuk menjadi ekstrim, trauma, bisa pola asuh, bisa pergaulan, bisa trauma, atau bahkan sekedar iseng atau ikut ikutan yang akhirnya kecemplung.
Hari gini kudu kuat kuat doa minta perlindungan dunia akhirat, semoga hidup dan mati kita selamat.
Serius, tulisan ini awakening buat gue.
Iya, karena kita sekarang bukan kekurangan informasi tapi kelebihan informasi.
Berdoa minta dilindungi dari informasi yang salah sekarang jadi penting banget..hehe.
Makasih udah mampir 🙂