Pernah ngga lo baca kalimat yang bilang manusia itu pada hakikatnya hanya setia pada kebutuhannya aja?
Iya, belum lama ini gue ngga sengaja baca statement yang intinya bilang “manusia hanya setia pada kebutuhannya”. Sayangnya gue lupa gue pernah baca ini dimana, jadi ngga bisa kasih tahu sumbernya..hehe. Oke lanjut, terus kemudian kalo setiap manusia punya kebutuhan tertentu dan berusaha memenuhi kebutuhannya itu lewat hubungan sosial, kemudian bagaimana cara manusia saling memenuhi kebutuhan masing- masing tanpa menjadi abusif bagi orang lain dan menjadi abusif terhadap dirinya sendiri? Dan terkadang tanpa dipungkiri manusia melakukan hal itu secara sadar ataupun tanpa sadar, bukan?..hehe.
Pada tanggal 9 September 2019, gue dateng ke talk show yang diadakan oleh Soham Creative Space (SCS) dengan tema Trust and Boundaries. Jadi intinya, pada ruang caption yang memajang banner acara ini tertulis bahwa talk show akan membahas tentang bagaimana menciptakan batasan yang sehat agar dapat memperoleh kepercayaan serta menumbuhkan hubungan sosial yang sehat. Jadi intinya talk show ini akan membahas tentang pentingnya batasan dalam interaksi sosial agar dapat meminimalisir luka sosial.
Talk show Trust and Boundaries dipandu oleh moderator bernama Suha Hoedi dengan narasumber yaitu Jenny Jusuf. Sekilas tentang Jenny Jusuf adalah dia penulis buku (Vajra: Diamond in Every Heart dan Eat, Pray, and Leave), penulis skenario film (Filosofi Kopi dan Critical Eleven), penerima penghargaan Festival Film Indonesia tahun 2015 untuk Penulis Skenario Adaptasi Terbaik atas Film Filosofi Kopi, telah mendalami holistic living selama 11 tahun, holistic sexuality selama 2 tahun, serta bersertifikat sacred femininity facilitator dibawah naungan Tao Tantric Arts dan Universal Healing Tao.
Gue putusin untuk ikut dateng di talk show Trust and Boundaries ini karena kayaknya menarik buat menambah perspektif baru..hehe. Oia, pada posting-an kali ini, gue mau berbagi cerita tentang apa aja yang dibahas di talk show tersebut. Bisa jadi perspektif yang dibahas di dalam talk show tersebut berbeda jauh dengan perspektif yang kamu punya. Jadi kalo beda banget, anggep aja selingan..hehe.
Letak SCS ini di bilangan Kemang, Jakarta Selatan atau tepatnya terletak satu gedung dengan Kencana Pajajaran (butik). Jadi patokannya adalah Kencana Pajajaran, kemudian kita bisa langsung masuk ke dalamnya dan naik ke lantai 3 untuk mencapai SCS tersebut.
Secara garis besar, “rundown” untuk acara yang berlangsung selama 2 jam ini yaitu 1 jam pertama adalah sharing knowledge yang diberikan oleh Jenny Jusuf dipandu oleh Suha Hoedi selaku moderator, kemudian diselingi dengan break selama 5 menit (bisa digunakan oleh para peserta yang ingin ke toilet ataupun minum), kemudian 1 jam selanjutnya yaitu acara Questions and Answers dimana para peserta dapat bertanya langsung kepada Jenny.
Terlihat pihak SCS ingin menghadirkan suasana hangat selama sesi berlangsung. Pada awal acara diskusi Trust and Boundaries, para peserta dipersilahkan duduk lesehan dengan melingkari moderator dan narasumber. Saat sesi break berlangsung, sang moderator menyempatkan diri berkenalan kepada para peserta yang datang dan melakukan small talk kepada mereka. Hal ini simple tapi menurut gue nice..hehe.
Oke, langsung masuk ke tema topik ini..hehe. Menurut Jenny sang narasumber, sebelum dapat membuat batasan yang tepat, setiap orang harus mengenal dirinya dahulu sehingga bisa mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya, keinginannya, elemen dominan yang dimilikinya (pada malam itu, yang dibahas oleh Jenny adalah elemen anima dan animus seseorang), intuisinya, kekuatannya, kelemahannya, dan trauma yang dimilikinya (jika ada).
Kenapa saat ingin membuat batasan pribadi harus dimulai dari hal ini? Karena dengan mengenal dirinya sendiri dengan baik, maka seseorang mampu untuk menyayangi dirinya (self-love), sehingga mampu menciptakan batasan yang menjadi guideline tentang apa yang dapat dilakukan orang lain dan apa yang tidak boleh dilakukan orang lain terhadap dirinya dan begitupun sebaliknya.
Batasan ini bisa diistilahkan sebagai do’s atau don’ts yang bisa orang lain lakukan kepada diri kita ataupun sebaliknya. Diharapkan batasan ini kedepannya dapat dikomunikasikan kepada partner interaksi kita sehingga bisa saling memahami dan memberi dengan ikhlas dan tanpa adanya prasangka. Individu yang saling berinteraksi pada bahasan kali ini mencakup beberapa bentuk relasi, seperti relasi anak dan orang tua, relasi pertemanan, serta relasi romantis.
Jenny menegaskan, satu hal yang tidak boleh luput bahwa kecakapan komunikasi memiliki andil ketika mengomunikasikan batasan ini kepada orang lain. Kecakapan komunikasi tersebut diantaranya seperti gaya komunikasi dan mengetahui gender pride yang dimiliki oleh pria dan wanita. Gaya komunikasi saat mengomunikasikan batasan tersebut harus tegas tapi tidak menghina orang lain serta akan lebih baik jika dibarengi dengan pemberian saran atau solusi dengan sopan. Sedangkan gender pride adalah hal-hal sensitif yang dimiliki oleh pria dan wanita, dimana jika direndahkan akan mengakibatkan rasa terpukul yang hebat.
Gender pride pada pria biasanya adalah pencapaian hidup dan sex performance, sedangkan pada wanita biasanya adalah kecantikan fisik. Meskipun hal ini bisa dikatakan tidak mutlak, tapi pada umumnya hal-hal tersebut merupakan hal yang sangat sensitif bagi masing-masing gender. Umpamanya, saat akan mengomunikasikan batasan yang terkait dengan gender pride tersebut tidak bisa dilakukan dengan gaya komunikasi yang sembarangan. Dengan mengetahui hal-hal ini, diharapkan mampu mempermudah pihak lain dalam menerima batasan yang kita buat.
Masih menurut Jenny di dalam diskusi Trust and Boundaries, batasan ini idealnya perlu dikomunikasikan para pihak dari sejak awal membangun suatu hubungan. Jenny mengatakan bahwa batasan yang dimiliki oleh masing – masing pihak dan kemudian telah dikomunikasikan serta disepakati oleh kedua belah pihak tersebut diistilahkan sebagai relationship agreement.
Relationship agreement ini berlaku untuk semua bentuk relasi sosial seperti anak dan orang tua, relasi pertemanan, serta relasi romantis. Menurut pengalaman Jenny, bentuk relationship agreement ini unik bagi tiap – tiap hubungan. Meskipun hal ini bisa diterapkan untuk semua jenis hubungan, pada malam itu Jenny mencontohkan dalam bentuk relasi romantis. Contoh yang diberikan Jenny yaitu, terdapat pasangan yang menjadikan seks sebagai nomor satu dalam hubungannya, namun ada juga yang nyaman dengan hubungan romantis tanpa seks. Mungkin Jenny sengaja memberikan contoh yang agak ekstrim karena untuk menegaskan keunikan yang bisa dimiliki oleh suatu relationship agreement ya..hehe.
Memperkaya bahasan di sesi diskusi Trust and Boundaries ini, Jenny juga mengatakan bahwa dirinya termasuk individu yang mendengarkan bahasa rasa (intuisi) dalam membangun hubungan dengan orang lain. Beberapa kali Jenny hangout dengan teman dating yang memiliki wawasan luas dan bersamanya bisa nyambung bicara tentang banyak hal, tapi dia mengaku tidak merasakan bahasa rasa yang enak dengan orang tersebut. Sebaliknya, dia pun pernah hangout dengan teman dating yang tidak terlalu asyik – nyambung, tapi dia merasakan bahasa rasa yang nyaman dengan orang ini.
Jenny menyarankan untuk tidak mengabaikan bahasa rasa (intuisi) yang kita miliki. Tidak mengabaikannya, menurutnya merupakan bagian dari pembelajaran dalam mengenal diri sendiri. Bahasa rasa ini bisa didengarkan atau digunakan pada setiap bentuk relasi sosial. Kasus yang dijadikan sampel oleh Jenny kebetulan adalah relasi romantis, tapi pada dasarkan bisa diterapkan untuk bentuk relasi lainnya.
Pengetahuan lainnya yang Jenny bagikan dalam bahasan kali ini yang juga berdasarkan pada pengalamannya adalah dengan mengenal dan memahami diri sendiri, selain berguna untuk self-love dan membuat batasan dalam hubungan sosial, manfaat lainnya adalah dapat menciptakan harmoni di dalam dirinya. Jenny percaya jika kebahagiaan dari dalam diri seseorang bisa tercapai jika tercipta keseimbangan di dalam diri seseorang. Salah satu bentuk keseimbangan tersebut adalah keseimbangan antara elemen anima dan animus yang ada di dalam diri kita.
Konsep elemen ini diambil dari teori Carl Gustav Jung, yang menyatakan bahwa pada dasarnya setiap individu memiliki dua elemen sekaligus di dalam dirinya. Elemen tersebut yaitu feminin (anima) dan maskulin (animus) di dalam dirinya. Salah satunya bisa menjadi dominan, tapi idealnya keduanya seharusnya seimbang. Setiap elemen memiliki karakter plus dan minus. Jika tidak seimbang maka berpotensi menimbulkan masalah.
Karakter plus dari elemen animus adalah pemberani dan karakter minus-nya adalah cenderung kejam secara fisik ataupun emosi (seringkali muncul jika terjebak dalam bentuk relasi yang toxic). Sedangkan karakter plus untuk karakter anima adalah penyayang tapi karakter minus-nya adalah cenderung melakukan self-abuse (seringkali muncul jika terjebak dalam bentuk relasi yang toxic). Cara yang bisa dilakukan untuk menyeimbangkan kedua elemen tersebut yaitu dengan menyadari elemen mana yang inferior, kemudian memupuk elemen tersebut. Untuk memupuk elemen anima, bisa dengan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan mengasah rasa atau merawat seperti seni dan kegiatan berkebun. Sedangkan untuk memupuk animus, bisa dilakukan dengan cara mempelajari “masculine skill” (memperbaiki mobil, peralatan rumah tangga, dan lain – lain), belajar kepemimpinan, dan melatih sikap tegas.
Manfaat lainnya yang Jenny paparkan ketika telah mengenal dan memahami diri sendiri adalah dapat mengetahui apakah diri kita tersebut memiliki trauma masa lalu atau tidak. Karena orang yang memiliki trauma di masa lalu biasanya akan meneruskan luka tersebut kepada orang terdekatnya. Ini merupakan contoh perilaku abusif yang dilakukan tanpa sadar kepada orang lain. Dengan mengetahui trauma yang ada, individu tersebut dapat mencari bantuan profesional untuk menyembuhkan traumanya tersebut. Jenny memaparkan ada beberapa metode yang bisa dilakukan, seperti meditasi ataupun berkomunikasi dengan Inner Child diri kita.
Secara pribadi, metode yang digunakan Jenny adalah memvisualisasikan dan berkomunikasi dengan Inner Child-nya. Inner Child adalah jiwa kita ketika masih kanak-kanak dan biasanya dipengaruhi oleh hal-hal yang dialami pada saat itu. Pertama Jenny memvisualisasikan dirinya di masa kecil (masa dimana trauma tersebut berlangsung), kemudian bersimpati kepada diri kecilnya itu kemudian memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada diri di masa kecilnya tersebut melalui Jenny dewasa. Ada beberapa metode lainnya yang dapat dipilih karena tingkat efektifitas dari suatu metode akan berbeda tergantung dari masing-masing pribadi.
Kesimpulan menurut gue pribadi, talk show Trust and Boundaries menarik karena telah memberikan perspektif baru di kepala gue tentang cara bagaimana living in the goodness. Gimana caranya interaksi sosial yang dilakukan oleh manusia ngga jadi sesuatu yang paradoksal, maksudnya niatnya buat memenuhi kebutuhan batin tapi justru yang ada malah menimbulkan luka batin. Dan bahasannya pun bisa diterapkan untuk beberapa jenis relasi sosial. Oia, satu lagi yang menarik yaitu tadinya gue pikir cuma akan bahas gimana caranya membuat batasan yang sehat dalam relasi sosial, tapi ternyata juga bicara tentang hal lainnya sebagai pengayaan seperti bahasa rasa (intuisi), keseimbangan hidup, dan trauma meskipun tidak semendalam tentang batasan. Tentang peserta yang hadir pun menurut gue cukup keren karena mereka berani membuka permasalahan mereka yang sangat private di depan peserta lainnya. Dimana peserta yang lainnya kan sebetulnya bisa dibilang “orang asing” bagi mereka. Keterbukaan ini menurut gue ngga gampang tapi para penanya santai aja. Pertanyaan pribadi tersebut kemudian dijawab oleh narasumber, yang hasilnya bisa memberikan wawasan baru bagi sesama peserta yang hadir.
Bagaimana perspektif lo setelah baca ini?..hehe.
Talkshow yang ngena banget ya kak. Kita jadi lebih bisa mengenal diri sendiri, mengakui hal ketidaknyamanan yang mungkin secara tidak sadar kita tahan namun menimbulkan gangguan tertentu pada kehidupan kita ke depan. Trust and boundaries semoga menjadikan diri kita lebih wise sebagai pribadi dan makhluk sosial ya kak.
Iya, ini hal baru buat gue sih.. apalagi kan menurut gw kultur disini masih yang nahan-nahan ngga enakkan.. termasuk gw sih kayak gitu sebenernya..hehe.. talkshow ini jadi nambah perspektif baru..
Btw, makasi udah mampir 🙂
Wah seru bacanya. Sangat menambah perspektif baru dalam kepala saya. Animus dan anima harus seimbang ya. Baru tau untuk memupuk elemen anima itu dengan cara berkebun dan salah satuny dengan seni. Sisi feminim bisa di asah melalui seni itu menarik sih.
Bergizi sekali artikelnya kak. Thank for sharing
Menurut Jenjus si narsum-nya begitu.. tapi kayaknya ada benernya juga, intinya mengolah rasa..hehe..
Btw, makasii udah mampir 🙂
Wahh pas banget, kebetulan aku follower IGnya Jenjus. Di setiap postingan jga sering membahas tentang relationship. Wahh ternyata kalau ngikutin talk shown ya lebih dalam lagi ya pembahasannya. Aku salut sihh sama mbak yang bsa merangkum isi talkshow dengan sangat baik, jadi berasa ikut talkshownya Jenjus perihal trust dan boundaries yang menurut aku emank penting diketahui khalayak banyak. Good job Mba! Waiting for your next article…
Iya, kebetulan gw liat info talkshow ini dari instagramnya elingyuk yang diadain sama Soham Creative Space.. kayaknya narsum-nya ganti-ganti, kebetulan yang waktu itu diundang si Jenjus..hehe..
Btw, thanks udah mampir 🙂
Kecakapan komunikasi menentukan suatu hubungan bisa berjaln dengan baik berlaku dalam semua hal ya baik keluarga, teman atau suami istri.
Bahasa rasa sekilas biasa aja tapi kalau merasa gak nyaman biasanya aku juga mundur atau menghindari orang tersebut.
MAteri talkshownya mantep banget ini ya
Yes, aku baru tahu ternyata bahasa rasa itu penting..
Tapi kasiannya ada orang yang punya trauma tapi dia ngga sadar, jadi akhirnya dia punya vibrasi negatif yang bikin orang baru kalo ketemu dia punya bahasa rasa yang kurang nyaman ke dia..
Padahal seringkali si orang yg punya trauma ini ngga jahat..
Jadi rumit ya..hehe..
Btw, thanks udah mampir 🙂
Bagus ya temanya.
Aku juga salah satu orang yang percaya dengan intuisi.
Mengenal diri sendiri untuk bisa dekat atau nyaman dengan orang lain memang harus seh ya dalam berinteraksi. Semoga aja makin banyak yang memahami diri sendiri setelah membaca artikel ini, yakin aku suka dengan tulisannya.
Yess, kalo kata Katharine Sharp, perjalanan paling panjang adalah perjalanan dalam mengenal diri sendiri..hehe..
Btw, thanks udah mampir 🙂
Aku pikir sudah hakikatnya sih kak, manusia akan setia pada kebutuhannya. Talkshownya menarik sekaliii.
Iya, part shadow dari manusia adalah egoisss :p
Paragrafnya dibenerin neng itu meper n rapet bgt, gw bCanya kelupaan mulu hee.. Mengenal diri sndiri memang butuh waktu dan proses
Haha.. siap om Ed..
Iya, prosess Om Ed..
Btw, thanks udah mampir 🙂
Sepertinya bisa diterapkan untuk mengenali calon pasangan yang cocok.. haha… Walau diri bisa dikuasai tapi menurutku lingkungan yang biasanya bikin pengaruh buruk. Misal teman kerja g enak dll
Hihi..lingkungan toxic tinggalin aja :p
Thanks udah mampir..
Keren nih topik talkshow-nya. Mengenal diri kemudian membuat batasan yang bisa dan tidak bisa. Lalu mengomunikasikannya dgn orang dekat kita. Keknya skrg kita malah diatur oleh aturan-aturan di luar kita dan sebaliknya kita mencoba ngatur yg di luar diri kita.
Iya, mba bgitu..
Thanks udah mampir 🙂
Wow ternyata luka masa lalu bisa bikin bahaya buat orang terdekatnya yaa.. Bisa jadi pelampiasan
Iya, mas kalo kata psikolog Dedy Susanto begitu..
Harus dibersihin dulu, soalnya bisa jadi bahaya laten buat orang terdekatnya dia..
Thanks udah mampir 🙂
What a nice talkshow. Konsep penyajiannya jg sesuai dengan tema ya kak.
Setuju banget nih kak, emang semuanya hrs berawal dari mengenal diri sendiri dulu. Bahkan untuk dapat mencintai diri sendiri kita perlu tahu tentang diri kita sendiri dlu ya mak
Iya, bener bgitu 🙂
Thanks udah mampir..
Talkshownya menarik ya kak. Tidak mengabaikan bahasa rasa ini emang penting banget dalam berhubungan. aku pun pernah membaca sekilas tentang bahasa rasa ini di sebuah artikel.
Btw aku suka dengan tulisannya kak terima kasih ya 😊
Iya, talkshow-nya menarik..
Gw ngga nyesel nguber dateng kesini, langsung dari tempat kerja..hehe..
Thanks udah mampir ya 🙂
Aahh febi gak ajak2 nih, ikutan donk kalo ada talkshow seperti ini lagi
Haha.. iya, siyap kapt nanti gw kabarin ya kalo ada lagi..
Thanks udah mampir 🙂
Gue setuju sama lo kak, talkshow ini bener2 memberikan gue perspektif baru dan makin positive lagi. Harus makin belajar mengenal diri sendiri dan memahaminya. Terkadang kita sibuk memahami orang lain, karena takut sakit hati atau enggak enakan. Satu lagi membuat batasan dalam hubungan sosial juga penting ternyata.
Menarik banget temanya 👍👍👍
Makasi nia udah mampir dan kasih komen keren..hehe..
sukses selalu ya 🙂
Mengenal diri sendiri itu penting banget ya Kak, supaya bisa membuat boundaries dalam hubungan dengan siapapun. Talk show yang bermanfaat sekali.
Setujuu 😀
Thanks udah mampir..
menarik bgt nih topiknya. menyembuhkan trauma masa lalu dgn visualisasi.
Iya, itu salah satu tekniknya..hehe..
Thanks udah mampir 🙂
Tema yang menarik untuk sebuah mini talkshow. Perbincangan dan diskusi yang nyantai seperti ini bisa menembus batas juga sepertinya daripada audience yang rame malah bikin kita kurang meresapi makna bahasannya. Dan setuju jika sebelum batasan kita ciptakan sebaiknya perlu mengenal diri sendiri dulu
Iya, mba bener banget 🙂
Seandainya gw tahu ini dari dulu :p
Thanks udah mampir
Otw follow Jeny Jusuf, kali aja bisa ikutan next talkshownya. Baca ulasan Kak Febi aja seru banget, ga kebayang bisa ikutan sessionnya langsung 😍😍
Iya, seru banget talkshow dia 🙂
Btw, makasih udah mampir..