Buku The Death of Franchise

https://www.estalinafebiola.com/the-death-of-franchise/

Mau tahu rahasia dan intrik gokil dibalik bisnis franchise / waralaba? Yuk kesini aja..

 

Kali ini gue mau mengulas sebuah buku berjudul The Death of Franchise karya Anke Dwi Saputro. Meskipun bukan buku yang baru – baru amat terbitnya (terbit tahun 2016), tapi menurut gue buku ini bagus karena penulisnya adalah pemimpin redaksi di majalah Innovation yang khusus membahas tentang bisnis, sekaligus pengusaha yang menjalankan bisnis franchise (waralaba) dengan nama brand yaitu Nachos Hot.  Jadi cukup komplit ya, penulisnya adalah pengamat sekaligus praktisi bisnis.

 

Apa yang membuat gue memutuskan untuk baca buku ini?

 

Beberapa tahun belakangan ini, trend edukasi tentang bisnis lagi marak. Setelah gue perhatiin sekeliling gue, gue nemuin beberapa model usaha yang salah satunya yaitu waralaba. Melihat ini, terbersit di hati gue bahwa bisnis waralaba adalah bisnis yang menguntungkan karena ngga perlu membesarkan brand (merk produk) lagi, karena brand udah terkenal atau minimal udah punya pelanggan setia. Lanjut, apakah pemikiran gue ini benar atau salah banget? Untuk ngebuktiin hal ini, kemudian gue coba baca buku The Death of Franchise.

 

 

Apa yang gue rasakan setelah baca buku ini?

 

Jujur ya, gue suka banget sama buku The Death of Franchise karena memaparkan permasalahan di dalam model bisnis waralaba secara lengkap berikut contoh kasus nyata. Permasalahan ini biasanya menyangkut niat buruk ataupun kurangnya pengalaman yang dimiliki oleh franchisor ataupun franchisee. Akan tetapi, buku ini ngga berhenti hanya sampai disitu, buku ini menawarkan solusi supaya terhindar dari hal-hal negatif tersebut. Buku ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu bagian pertama memaparkan penyebab bangkrutnya bisnis waralaba dan bagian kedua tentang solusi mengatasinya.

 

Permasalahan pertama yang dibahas di buku The Death of Franchise terkait penyebab bisnis waralaba bangkrut yaitu karena terlalu dini untuk dimitrakan. Menurut hemat penulis, bisnis yang usianya masih dibawah lima tahun biasanya belum mengalami fase-fase krisis sehingga belum teruji apakah dapat mengatasi permasalahan tersebut atau sebaliknya. Fase-fase krisis tersebut misalnya seperti fase krisis keuangan, krisis kepemimpinan, krisis manajemen sumber daya manusia, manajemen pengelolaan sistem bisnis, dan manajemen produk. Kalau belum teruji mampu melewati fase-fase kritis tersebut tapi dipaksa mulai go dimitrakan, maka banyak kasus yang terjadi adalah saat franchisor ngga mampu melewati fase kritis tersebut otomatis franchisor gagal memenuhi janjinya. Kalau udah begitu, biasanya otomatis tuduhan sebagai penipu akan dialamatkan oleh franchisee kepada franchisor.

 

Buku Mapan

 

Permasalahan kedua yang dibahas di buku The Death of Franchise adalah mengenai keterbatasan modal. Seringkali banyak kasus yang terjadi yaitu dimana franchisor membuka waralaba karena ingin mendapatkan modal untuk ekspansi bisnisnya dari pihak lain yang merupakan nonbank. Alasan ini adalah alasan yang kurang tepat karena kalau franchisor ngga memiliki dana yang cukup, maka jika suatu saat ditemukan permasalahan keuangan, franchisor ngga boleh menutup usahanya begitu saja karena dia harus merealisasikan janji yang telah dibuatnya untuk franchisee.

 

Adapun keterbatasan modal yang mendera franchisor seperti yang diungkap di buku The Death of Franchise yaitu bisa saja disebabkan oleh beberapa hal yaitu dana perusahaan terpakai untuk membiayai bisnis lainnya, terpakai untuk membiayai gaya hidup pemiliknya, terpakai untuk membiayai konflik dengan mitranya, produk yang dijual ngga memberikan keuntungan yang signifikan sehingga franchisor kesulitan menyuplai bahan permintaan franchisee, ataupun ngga memenuhi syarat pendanaan dari bank.

 

Lantas gimana solusinya? Solusi di buku The Death of Franchise yaitu franchisee harus memiliki modal dana yang kuat. Sedangkan untuk franchisor, selain modal dana yang kuat dia harus punya catatan keuangan yang baik supaya lebih mudah mendapatkan pinjaman dari bank. Ciri- ciri franchisor dengan modal dana yang kuat yaitu sanggup membiayai biaya operasional, sanggup membeli biaya perlengkapan atau peralatan untuk disuplai kepada franchisee-nya, dan sanggup membiayai keperluan promosi. Bagi pihak franchisee, modal dana yang kuat berguna untuk membeli paket franchise yang diinginkan, membeli peralatan dan perlengkapan lain di luar paket yang diinginkan, membeli persediaan bahan baku dan bahan jadi di luar paket jika terjadi lonjakan permintaan oleh konsumen, membayar sewa tempat, biaya perizinan usaha baik legal maupun ilegal, dan biaya promosi jika biya promosi ngga masuk ke dalam paket franchise.

 

Permasalahan berikutnya yang dibahas di buku The Death of Franchise yaitu bisnis yang skalanya terlalu kecil sehingga ngga ideal untuk diwaralabakan. Bisnis yang skalanya terlalu kecil yaitu, bisnis yang produknya terlalu unik sehingga cenderung aneh, bisnis yang market-nya kecil, bisnis yang labanya kecil, memiliki model bisnis yang kompleks, dan bahan bakunya sulit diperoleh. Solusinya adalah membuka bisnis dengan produk yang merupakan konsumsi harian, membuka bisnis utama dengan didampingi produk lainnya agar bervariasi, model bisnis disederhanakan, bahan baku yang gampang diperoleh, dan pertumbuhan riilnya di atas jumlah inflasi.

 

Permasalah keempat yang dijelaskan di buku The Death of Franchise yaitu bisnis yang memiliki produk musiman. Apa produk musiman? Produk musiman yaitu inovasinya terbatas, produk gaya hidup yang menyasar remaja, belum punya basis pelangan setia sebelumnya, dibesarkan oleh pemberitaan yang sifatnya sensasional, cuma nyaman dikonsumsi di suatu tertentu atau lokasi tertentu, dan produknya bukan merupakan konsumsi harian.

 

Solusi untuk permasalahan keempat, dijelaskan di buku The Death of Franchise yaitu supaya bisnis bertahan lama, bisa dilakukan diferensiasi produk. Diferensiasi produk ini bisa dilakukan melalui kemasan, infrastruktur pelayanan atau lingkungan, dan kandungan produk. Diferensiasi yang paling disarankan adalah kandungan produk karena tidak bergantung kepada lokasi ataupun kemasan yang sifatnya like – dislike. Kalau terpaksa bisnis dengan produk musiman akan diwaralabakan, sebaiknya franchisor harus secara terang-terangan menjelaskan kepada franchisee kemungkinan terburuk yang bisa terjadi sehingga ngga menimbulkan perselisihan di kemudian hari.

 

Next, permasalahan selanjutnya yang dibeberkan di buku The Death of Franchise adalah bisnis waralaba bisa mati karena franchisor dikhianati oleh franchisee. Ada beberapa motif yang melatarbelakangi kasus model begini yaitu franchisee ingin mendapatkan uang lebih banyak dengan menjual barang-barang yang tidak disepakati sebelumnya, ingin mencuri ide bisnis franchisor, ingin membalas dendam atas luka masa lalu yang diberikan oleh orang lain, mengefisienkan keuangan dengan cara memproduksi bahan baku sendiri, ataupun karena ingin menghindari biaya tambahan saat akan membuka outlet franchise baru.

 

Anke Dwi Saputro si penulis buku The Death of Franchise ini pun dengan senang hati memberikan solusinya. Solusinya yaitu franchisor dapat memberikan kesempatan bagi franchisee untuk menjual produk lain tanpa franchisor meminta uang bagi hasil agar franchisee bisa mendapatkan lebih banyak uang, franchisor sudah mendaftarkan brand-nya sebelum mewaralabakan bisnisnya, franchisor harus pintar membaca gelagat franchisee nakal yang ingin mencuri ide kemudian memutuskan hubungan jika franchisee terbukti bersalah, franchisor melakukan pendekatan yang manusiawi agar franchisee yang trauma bisa luluh, franchisor bisa memberikan diskon pembelian bahan baku agar usaha franchisee dapat terjaga keberlangsungannya, franchisor bisa memberikan diskon kepada franchisee jika franchisee ingin membuka outlet baru, dan jika konsep bisnis franchisor ditiru maka ngga perlu khawatir karena produk (mantan) franchisee mungkin akan mendapatkan brand awareness, tapi ngga akan mendapatkan brand association ataupun brand reputation.

 

Topik tentang franchisee yang bermasalah memang lumayan panjang dibahas di dalam buku The Death of Franchise. Anke Dwi Saputro bahkan ngejelasin secara detil tindakan preventif supaya bisa menyaring franchisee yang baik sehingga kasus-kasus di atas ngga terjadi. Pengenalan atas karakter calon franchisee, mutlak diperlukan oleh franchisor. Pembicaraan yang intens sudah semestinya dilakukan. Adapun ciri-ciri dari franchisee yang ideal adalah franchisee sebelumnya sudah pernah menjalankan bisnis, bisnis yang dipinang adalah passion-nya, keluarganya harmonis, franchise ini bukan satu-satunya sumber penghasilannya, punya dana cadangan, mau fokus di bisnis, punya memiliki pendidikan yang cukup (atau punya passion untuk terus belajar).

 

Buku The Death of Franchise ternyata ngga pilih kasih. Di buku ini juga dijelasin etika yang sebaiknya dimiliki oleh franchisor saat memperlakukan franchisee. Beberapa kasus bahkan ditemui justru franchisor-nya yang nakal. Adapun perilaku bermoral yang harus dimiliki yaitu memberi dukungan supply bahan baku secara lancar, memberikan promosi di media secara berkala, training sumber daya manusia, memberikan dukungan quality control, dan dukungan konsultasi manajemen. Filosofi yang mendasari pemikiran ini adalah jika franchisee makmur, maka franchisor akan lebih makmur lagi.

 

Setelah membahas lika liku hubungan franchisor dan franchisee, buku The Death of Franchise ini juga membahas permasalahan tentang sumber daya manusia atau dengan kata lain tentang permasalahan karyawan. Permasalahan yang secara umum ditemui adalah kualifikasi karyawan yang ngga mumpuni ataupun etika karyawan yang ngga baik. Terkadang pengusaha mempekerjakan karyawan dengan kualifikasi yang rendah untuk menekan biaya operasional, apalagi ditambah upah minimum regional yang tinggi seperti di Jakarta. Sedangkan untuk permasalahan etika, tidak jarang karyawan bahkan menjual resep produk milik pengusaha kepada kompetitor atau bahkan memeras pengusaha karena tahu bahwa pengusaha tersebut tidak memiliki kecakapan di bidang usaha yang digelutinya (misalnya pengusaha kuliner yang punya modal usaha tapi ngga bisa memasak sehingga staffnya yang jago memasak kemudian ‘memerasnya’).

 

Untuk solusi terkait permasalahan sumber daya manusia, buku The Death of Franchise memaparkan ada baiknya sejak awal pengusaha sadar bahwa proses inti dari bisnis adalah produksi dan pemasaran. Sehingga idealnya pengusaha juga harus memiliki kecakapan sesuai bidang yang digelutinya. Misalnya seperti pengusaha kuliner setidaknya harus bisa memasak. Jago memasak akan lebih baik. Namun, jika keadaan ngga memungkinkan, bisa diakali dengan cara sedari awal telah membuat perjanjian kerja yang jelas dan mengikat untuk mengantisipasi permasalahan seperti ini.

 

Setelah membahas permasalahan karyawan, yang ngga kalah pentingnya dibahas oleh buku The Death of Franchise adalah permasalahan yang bisa disebabkan oleh kompetitor. Hal ini biasanya menyangkut hak dan kekayaan intelektual. Misalnya kompetitor ingin menyabotase brand milik pengusaha lain karena tahu pengusaha tersebut belum mendaftarkan brand-nya tersebut secara legal. Kemudian adanya kasus dimana kompetitor mempatenkan nama generik ataupun meniru konsep dari design product atau brand dari pengusaha lain.

 

Gimana dengan solusinya? Penulis di dalam buku The Death of Franchise, memaparkan dengan sangat baik yaitu sebaiknya pengusaha ngga luput untuk mendaftarkan brand-nya saat akan memulai usaha. Sedangkan untuk kasus dimana kompetitor meniru-niru konsep bisnis pengusaha lainnya, maka ngga perlu terlalu khawatir karena produk mereka mungkin akan mendapatkan brand awareness, tapi ngga akan mendapatkan brand association ataupun brand reputation.

 

Ngga kalah menarik, di buku The Death of Franchise ini penulis secara khusus membahas tentang permasalahan perang harga yang terkadang bisa menyebabkan suatu bisnis bangkrut. Adapun permasalahan ini biasanya disebabkan oleh kompetitor yang menurunkan harga produknya, harga bahan baku naik, upah minimum regional yang meningkat, supplier ikut menjalankan model bisnis yang sama, dan sewa properti yang meningkat dari tahun ke tahun.

 

Untuk kasus perang harga, Anke Dwi Saputro selaku penulis buku The Death of Franchise, memberikan pemecahan masalah yaitu jika disebabkan oleh kompetitor yang membanting harga, pengusaha tidak perlu panik selama produknya memiliki unique selling point. Kalau penyebabnya adalah bahan baku yang naik, upah minimum regional yang meningkat, sewa properti yang terus naik, dan supplier yang ikut bergerak di bidang yang sama, maka franchisor sebaiknya memberikan keringanan harga kepada franchisee maksimal selama satu tahun. Jika setelah satu tahun keadaan masih sama, maka opsi untuk menaikkan harga jual bisa diambil.

 

Dengan pengalaman penulis yang komplit ini, kemudian penulis mengungkapkan permasalahan lain yang sering mendera pengusaha. Di buku The Death of Franchise, penulis juga mengingatkan agar sebaiknya pengusaha membatasi bidang bisnis yang digelutinya. Bisnis yang digeluti sebaiknya adalah bisnis yang dia paham betul. Ada baiknya pula jika fokus pada satu bisnis dulu. Penulis mencontohkan banyak franchise yang kesulitan keuangan karena franchisor-nya menggunakan uang bisnis utama untuk membiayai bisnis sampingan atau bisnis lainnya. Efek domino lainnya yang bisa terjadi yaitu jika pengusah ngga fokus dengan bisnisnya, maka penurunan kualitas produk ataupun pelayanan bisa aja terjadi.

 

Permasalahan terakhir yang dibahas di dalam buku The Death of Franchise ini, yaitu permasalahan dukungan sistem bisnis yang baik. Menurut penulis, dukungan sistem yang baik akan meningkatkan reputasi dan laba bisnis. Adapun dukungan sistem yang baik menyangkut standar operasional rekruitmen pegawai, training, promosi dan demosi pegawai, promosi penjualan, display, penentuan lokasi outlet, administrasi penjualan, brand manual, penjualan, dan penerimaan keluhan pelanggan. Untuk mempermudah bahasan ini, penulis banyak menulis kisah nyata seputar franchisee yang tidak menjalankan sistem yang diberikan oleh franchisor. Dan seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun bisnis waralaba ini gulung tikar.

 

Sebagai penutup postingan-an gue kali ini, menurut gue pribadi, bisnis waralaba sama kayak model bisnis yang lainnya, butuh kerja keras dan bimbingan dari orang yang udah berpengalaman. Meskipun dengan membeli franchise biasanya nama produk udah dikenal masyarakat, tapi tetep ujung – ujungnya harus kreatif juga karena nanti tantangannya antara tiap – tiap franchisee beda – beda. Postingan-an ini bisa dibilang bentuk dari rasa suka gue terhadap buku The Death of Franchise, tapi beli dan baca buku ini sendiri tetep yang terbaik supaya bisa ngerasain sendiri detailnya paparan ilmu yang diberikan oleh Anke Dwi Saputro dan rasanya saat ilmu – ilmunya itu ‘mengena’ di perasaan karena apa yang ditulisnya ini adalah pengalamannya sendiri yang dituturkan dengan gaya bahasa sehari-hari. Oia, posting-an ini sama kayak yang sebelum – sebelumnya alias 100% no endorse yah, cuma sekedar mau kasih rekomen buku aja buat pengisi waktu santai 😊.

 

Ada yang punya pengalaman lain seputar bisnis franchise yang bikin ‘gemes hati’ tapi ikhlas mau dibagi? Silahkan tulis di kolom komentar ya 🙂

 

Instagram

Tagged : / / / /

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!
Visit Us On TwitterVisit Us On FacebookVisit Us On YoutubeVisit Us On Instagram