Kenapa Ferdi Sambo, Rafael Alun, dan lain – lainnya berperilaku berkebalikan dari apa yang mereka pahami? Suatu posting-an dari perspektif neurosains..
Tulisan gue kali ini terinspirasi dari beberapa peristiwa yang terjadi di lingkungan sosial gue (bisa gue lihat langsung tanpa bantuan media massa) ataupun peristiwa (skandal) yang saat ini sedang ramai dibicarain di media massa (gue memperhatikan lewat bantuan media).
Peristiwa yang terjadi di lingkungan sosial gue (bisa gue amati secara langsung tanpa bantuan media massa) adalah misalnya gue melihat beberapa kali peristiwa dimana orang-orang dengan atribut ataupun memangku jabatan yang signifikan di dalam suatu organisasi keagamaan berperilaku yang tidak sejalan dengan prinsip atau nilai – nilai yang esensial di dalam agama.
Sekedar disclaimer yah, gue ngga berkata semua yang memakai atribut keagamaan ataupun memangku jabatan yang signifkan di dalam suatu organisasi keagamaan berlaku seperti itu. Gue melihat ada yang berperilaku seperti itu, tapi tidak semua kayak begitu.
Peristiwa lainnya yang ngga bisa gue lihat secara langsung dengan mata kepala gue sendiri sehingga gue harus melihatnya lewat bantuan media -massa- adalah kasus yang saat ini bisa dibilang banyak dibicarakan yaitu kasus Ferdi Sambo dan Rafael Alun.
Baik dalam kasus Ferdi Sambo maupun Rafael Alun, secara awam pun kita bisa menilai bahwa pengetahuan seseorang belum tentu sejalan dengan apa yang dilakukannya.
Dalam ilmu komunikasi dan psikologi, fenomena ini secara tidak langsung telah disinggung di dalam suatu teori yaitu teori disonansi kognitif. Teori disonansi kognitif secara tidak langsung telah menjelaskan bahwa adanya kemungkinan atau peluang bahwa pengetahuan seseorang akan sesuatu tidak menjamin seseorang melakukan apa yang diketahuinya tersebut.
Memahami hal ini, kemudian terlintas pertanyaan di pikiran gue, yaitu: “apakah itu artinya ilmu – ilmu pemberdayaan diri seperti agama, filsafat ataupun kehadiran motivasi – motivasi yang beredar di media sosial dengan tujuan agar orang – orang dapat belajar dari situ sehingga bisa meningkatkan kesadaran diri (self awareness) dan kualitas hidup secara nyata adalah hal yang sia – sia untuk sebagian orang meskipun orang itu paham?”.
Orang – orang yang “mabuk ilmu pemberdayaan diri” sehingga saat berdiskusi dengan mereka biasanya kita akan merasa diskusi mereka sangat mendalam dan kata – katanya seperti “bahasa langit” yang mencerahkan. Akan tetapi saat kita secara obyektif menilai perilakunya atau bahkan melakukan survei kepada orang – orang terdekatnya, justru kita menemukan fakta yang berkebalikan.
Seringkali faktanya yaitu bahwa apa yang orang tersebut tahu atau diskusikan berbanding terbalik dengan apa yang dilakukannya sehari – hari sehingga orang tersebut tidak bisa memberikan energi kenyamanan kepada lingkungan terdekatnya.
Profesor Brontosaurus: Kehidupan Dokter Hewan
Untungnya pertanyaan yang terlintas di pikiran gue tersebut ngga perlu waktu lama buat dicari jawabannya. Jawabannya -untuk gue pribadi saat ini- gue temukan dari Coach Rheo (trainer pemberdayaan diri dengan salah satu latar belakang pendidikannya adalah neurosemantics).
Pada intinya Coach Rheo menerangkan bahwa terkadang pengetahuan yang kita miliki untuk selalu berlaku positif, baik, dan benar terhadap orang lain atau lingkungan, tidak mampu membuat kita selalu berlaku demikian. Hal ini disebabkan karena seringkali terjadi suatu fenomena yang disebut sebagai amygdala hijack (pembajakan amigdala).
Amydala hijack adalah kondisi dimana amigdala mengambil alih segala respon yang diterima, sebelum respon tersebut diolah oleh neokorteks. Karakteristik dari respon amigdala adalah emosional (cenderung negatif), sedangkan karakteristik dari neokorteks adalah rasional. Jika terjadi pembajakan amigdala, maka respon yang kita berikan terhadap stimulus adalah emosional (cenderung negatif), ketimbang respon yang rasional.
Masih menurut Coach Rheo, penyebab terjadinya disfungsi ini (pembajakan amigdala) adalah karena manusia terbiasa menyimpan atau memendam emosi – emosi negatif, baik yang berasal dari pengalaman keseharian yang remeh temeh (ringan) ataupun pengalaman yang sifatnya traumatis (luka berat atau trauma). Penumpukan emosi – emosi negatif (sampah emosi) ini rentan menyebabkan seseorang mudah terkena fenomena amygdala hijack.
Bagaimana cara untuk menghindari hal ini? Berdasarkan pendapat Coach Rheo, sadari apa yang menyebabkan kita seringkali menjadi mudah mengeluarkan respon – reson negatif seperti marah, serakah, dan lain – lain. Telusuri secara jujur dengan diri sendiri sampai ke akar masalahnya, apa yang membuat kita mudah berlaku negatif seperti itu. Setelah ditemukan “akar penyebabnya”, kemudian lakukan metode melepaskan hal negatif tersebut dengan benar.
Menurut pengalaman Coach Rheo selama membantu kliennya, apa yang “awalnya” tampak sebagai penyebab seseorang mudah bereaksi negatif (marah, serakah, dan lain – lain) setelah ditelusuri dengan mendalam (tentu dengan bantuan kejujuran dan keterbukaan klien), kebanyakan ditemukan bahwa “akarnya” adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan yang tampak di “permukaan”. Akar inilah yang harus pertama kali di-release, baru kemudian bertahap dilakukan release kepada hal – hal lainnya yang terkait dengan root dari masalah ini
Sekedar contoh untuk memberikan gambaran real case yang dijelaskan oleh Coach Rheo tentang apa yang tampak sebagai “alasan di permukaan”, boleh jadi sangat berbeda dengan “alasan di akarnya”. Contohnya yaitu ada seorang pria yang tidak berani pedekate dengan wanita karena khawatir salah bertindak sehingga dijauhi oleh wanita.
Ketika ditelusuri oleh Coach Rheo kenapa takut jika dijauhi si wanita adalah karena dia khawatir si wanita akan bilang ke teman – temannya sehingga imej si pria menjadi negatif karena terkenal di lingkungannya tidak bisa mendapatkan wanita.
Kemudian ditelusuri lagi oleh Coach Rheo kenapa takut jika imejnya adalah tidak bisa mendapatkan wanita, maka jawaban si pria yaitu dia khawatir akan dikucilkan atau disepelekan oleh lingkungannya.
Singkat cerita, setelah terus menerus ditelusuri secara mendalam, maka ditemukan “root-nya” yaitu si pria ini sejak kecil piatu (ayah pergi menikah lagi), dia kerapkali melakukan apa – apa sendirian, kesepian, dan kurang kasih sayang sejak kecil. Begitu besar penghindarannya atas rasa tidak enak karena terkucilkan dan kesepian tersebut, maka berefek di “permukaan” yaitu takut ditolak jika gagal pedekate terhadap lawan jenis.
Akarnya inilah yang harus diberesi, kemudian bertahap kepada alasan – alasan sebelumnya, sehingga mencegah terjadinya pembajakan amigdala yang boleh jadi di kemudian hari berpotensi menyebabkan terjadinya hal lainnya yaitu disonansi kognitif.
Sebagai penutup, bukan maksud gue buat bilang kalo kesimpulan bisa diambil cuma dari satu faktor ataupun sekedar dari satu perspektif. Bisa jadi juga bukan karena apa yang gue bahas disini, tapi dari faktor atau perspektif yang lain. Tulisan gue kali ini mungkin juga ngga menjawab alasan sejati seorang Ferdi Sambo, Rafael Alun, dan lain – lainnya berbuat seperti itu. Tulisan ini sekedar tentang apa yang menjadi pertanyaan gue pribadi bahwa kenapa ya terkadang pengetahuan seseorang berbeda jauh dengan perilaku orang tersebut.
Menurut kamu, perbedaan antara pengetahuan dan perilaku disebabkan karena apa? Bagi pendapatnya ya..
Hal seperti ini memang menyebalkan. Banyak orang berkata atau paham sesuatu, tapi dia tidak melakukan apa yang dia katakan dan pahami. Apalagi apa yang dia lakukan secara langsung/tidak langsung merugikan orang lain.
Kalau aku sih faktor lingkungan dan pengalaman apa yang pernah dirasakan. Yaa memang terkesan umum dan ga spesifik. Tapi dua hal tersebut memang akan memberikan dampak dalam pemikiran, perkataan, dan perbuatan pada orang tersebut dengan seiring berjalannya waktu.
Tulisan yang bagus mbak febi 😀
Iya, vai pengalaman kita yang dibentuk dari hasil interaksi sama lingkungan emang juga berpengaruh besar yah..hehe.
Tapi untungnya sekarang issue tentang mental health udah familiar yah..
Makasih, vai udah mau mampir ke blog ini 🙂
Ini yang sebenarnya juga bisa jadi salah satu faktor kenapa manusia itu cemderung emosional. (Di sini enggak cuma perempuan). Dulu pun aku pernah bahas ini di artikel kenapa sih perempuan itu selalu dianggap emosinal. Dan pas nyari info² itu ketemulah statemen yang bilang, “sejatinya manusia itu bukan makhluk rasionalis, tapi emosional.” Ini sebenarnya make sense juga sih..
I learned a lot mbak ❤️❤️
Setuju 🙂
Btw, blognya bagus dan makasih udah mampir..
Kalo menurutku pribadi si, faktor lingkungan dan kebiasaan itu yang membuat perilaku kita terbentuk. Mau seluas apa pun pengetahun kita kalo masih menyimpan perilaku negativ sulit deh rasanya. Karena kan perilaku adalah kebiasaan atau habbit yang sudah kebentuk dari lama. Untuk ngerubahnya itu sulit dan butuh waktu entah sebentar entah lama.
iya, ngerubah sesuatu memang butuh waktu yang lama..
makasih udah mampir disini 🙂
Tapi bener sih nggak ada jaminan yang pengetahuannya baik memiliki perilaku yang baik juga, sering kali malah kebalikannya. Mungkin faktor lingkungan dan trauma masa lalu juga berpengaruh ke perilaku seseorang
setuju 🙂
terima kasih udah mampir..
jadi keinget pelajaran pas kuliah yaa, disonansi kognitif, kayanya kita juga sering ngalamin ini yaa, pengen ini itu (party, nyoba dugem, nyoba hilang dari peredaran, dll yang sesuai kebutuhan emosi) tapi logika, pengetahuan, norma di kepala menahan. Tapi klo udh ketemu sama amigdala hijack jadi kalang kabut yaa, secara impromptu bikin aksi2 negatif
hahaha.. iya banget..
btw, makasih udah mampir..
Aku malah baru denger terkait amigdala ini. mungkin nggak sih lingkungan mempengaruhi perilaku seseorang dibandingkan dengan pengetahuannya. Misalnya tau kalau mencuri itu salah, tapi karena keterbatasan ekonomi dia jadi mencuri.
Atau itu hal yang berbeda ?
bisa banget, pras 🙂
btw, makasih udah mampir..
Aseli feb, berat banget tulisan lu kali ini. Gue baca berulang, malah bingung sendiri. Beraaaat banget buat gue yg receh ini wkwk
bisa aja, lo..hehe
btw, makasih udah mampir..
Terkadang orang baik di lingkungan yang nggak baikpun bisa dengan mudah terjerumus ke hal yang ga baik juga. Di lingkungan kita udah banyak banget contohnya lah yah. Bahkan even itu orang yang kita anggap punya iman yang tebal pun bisa nyungsep juga.
Bahkan kalau salah seorang yang baik, tapi nggak mau melakukan sesuatu yg buruk malah kebanyakan mereka dikucilkan, dan yg lebih ekstrim “dibuang” ditempat terpencil yang minim fasilitas guna memberi efek jera kenapa ga mau ikut2an berbuat seperti mereka dan dianggap sok suci.
Realita yang kita lihat sekarang ini banyak hal seperti itu justru terang2an terjadi. Jadi pilihan ada di tangan kita mau jadi baik atau tidak dengan berbagai pertimbangan dan alasan
iyaa, berat ya ujiannya..hehe..
Btw, makasih udah mampir disini 🙂
Saya juga belakangan punya banyak respons negatif, seperti mudah marah, seperti yang disampaikan Coach Rheo.
Mungkin perlu dicari root-nya juga.
Terima kasih atas tulisannya, Mbak Febi.
Iya, mas dicari “akarnya”..hehe..
Banyak yg pas udah ketemu “akarnya”, malah terkaget-kaget sendiri..
Btw, makasih udah mampir disini 🙂
Tulisan yang sangat mencerahkan, lalu disana tidak dijelaskan kah bagaimana cara mengatasi pembajakan amingdala ini, karena jujur buat saya hal ini memang sangat rentan, kita mungkin tahu kalau sesuatu itu baik, lalu kita lakukan dengan baik juga, hanya saja lingkungan kita tidak mendukung untuk itu, lalu bagaimana kalau kasusnya seperti itu, apakah itu juga termasuk pembajakan amingdalan ?
Sebetulnya Coach Rheo ngejelasin gmn caranya, biar kita ngga disabotase sama amigdala..
Cuma gw ga boleh ngajarin caranya, caranya cuma buat diri sendiri aja..
Setiap peserta di kelas dia, udah ada perjanjian sama dia kayak gitu..
Kalo penasaran, bisa tanya langsung atau ikut kelasnya aja..
Btw, makasih udah mampir disini 🙂
Tapi aku setuju sih, kadang saat kita ke trigger banget sm suatu hal dan saat kita mau lebih dalam buat nyari “why” bisa sampe ke trigger ternyataa emang bisa sebeda itu.
Aku jg sempet ngeliat dan ngerasain sendir, bahkan lebih dari sekali ttg orang² yg bedaa bgt branding depan umum sama kelakuannya sehari². Sempet yg bingung jg mempertanyakan kenapa sih bisa orang yg padahal depan orang tuh banyak ilmunya tapi kok kelakuannya berbanding terbalik.
Makasih kak feb utk tulisannya
setuju, banget ser 🙂
makasih komen positifnya dan udah mampir disini..
Hmmm menarik, pembajakan amigdala. Walaupun kata Kak Feby kalo bisa jadi ada sebab lain yang melatarbelakangi Ferdy Sambo untuk melalukan kejahatan. Tapi emang bisa separah itukah kalo suatu pembajakan amigdala? Tulisan ini membuat aku berkeinginan untuk menelusuri akar negativitas dalam diri.
Menurut orang2 yg belajar ilmu otak, iya sebegitu parahnya kalau diri kita disabotase oleh diri kita sendiri..
Silahkan, ngga ada ruginya belajar ini..
Udah banyak short course atau workshop soal ini 🙂
Btw, makasih udah mampir..
Waaah tulisan yang cukup njelimet yak mba buat saya. Tapi ko yah menarik buat tau ternyata ini tokh namanya amigdala hijack. Saya jadi mikir sendiri, dari contoh sederhana yang dikasi, saya jd khawatir jgn2 saya punya potensi besar kena amigdala hijack y. Soalnya saya tau ko hal itu salah n ga baik, tapi yah karena faktor ga mau kalah, jadi bodo ameeeet deh tak terabas, akhirnya bikin org lain jd kesel.
Haha, mungkin..
Gue rasa gw juga pasti pernah ngalamin disabotase sama diri sendiri alias kena amygdala hijack ini..hehe..
Btw, thanks udah mampir..
Menurut gw sendiri, melakukan sebuah kontemplasi adalah sesuatu hal yang penting dilakukan untuk mencari sebuah ‘akar’. Selain dari perlunya pula memiliki kesadaran diri, mengenal konsep diri yang baik juga utuh.
Kesemuanya haruslah terpadu, selaras serta seimbang, sebab kurang lebihnya, positif negatifnya, semuanya dapat memberikan dampak yang cukup luar biasa pula untuk ke depannya.
Nice writing!
Setuju, saat ada masalah “mencari ke dalam” alias berkontemplasi buat nemuin solusi 🙂
Makasih udah mampir..
Kalau menurutku juga nilai moral dan value dia sebagai manusia, bagaimana dia memandang dirinya menjadi motivasi dia melakukan itu. Selain itu juga kesempatan juga karena dia berada di lingkungan yg sudah dia akrabi sedari dulu sehingga nyaman melakukan apapun. Cmiiw
Setuju, tya 🙂
Btw, makasih udah mampir disini..
waw, menarik banget infomrasinya kak. aku baru tahu ada istilah pembajakan amigdala ini. kalo meurutku kayaknya yang paling berpengaruh itu lingkungan ya. apalagi pola asuh orang tua. karena kita seringkali dilabeli dan melabeli diri sendiri karena percaya gtu aja dengan apa yg orang tua kita bilang ttg kita.
Setuju..
Apalagi dengan ditambah kalo punya kepribadian highly sensitive person (HSP), makin klop deh potensi buat terjadi pembajakan amigdala ini 😀
Btw, makasih udah mampir..
Waw…. ini menarik nih, banyak orang yang punya pengetahuan dan paham tapi justru tidak melakukannya. Contoh sehari hari ya dirumah, orang tua melarang anak untuk melakukan ini itu yang salah tapi orang tua melakukan kebalikannya dan memberi contoh yang malah tidak baik
Hahaha.. iya, bener..
Btw, makasih udah mampir..
Lingkungan sangat berpengaruh sekali terhadap diri kita, seberapa kuat kita bisa bertahan dengan gempuran lingkungan. Entah gempuran dari sisi buruk dan lainnya. Jika memang sudah tidak baik lingkungan lebih baik move dari pada dampaknya melekat juga ke kita. Tetapi disisi lain juga sulit untuk move karena ada suatu hal yang memaksa kita harus bertahan
Iya, setuju..
Kalau masih bisa keluar dari lingkungan toxic, ya keluar aja..
Kalau belum bisa, terpaksa lakuin metode melepas emosi kayak Coach Rheo 😀
Btw, makasih udah mampir..
Butuh beberapa kali membaca dan mencerna buat saya untuk paham bahasan apa ini dan apakah benar yang saya kira. Apakah intinya kita bisa dimanipulasi/diambil alih oleh diri kita sendiri melalui fenomena amigdala hijack? Kalau pengetahuan kadang berbeda dengan perilaku, bisa jadi sebenarnya sudah sesuai, hanya saja kita yang belum sampai pada tingkatan pengetahuan dan perilaku ybs. Karena motif seseorang melakukan sesuatu dipengaruhi juga berdasarkan pengetahuan kan? Walaupun ada faktor selain itu juga. Eh, bener enggak sih yang saya omongin? Hehe.
Iya, intinya kita bisa digagalkan / disabotase sama diri sendiri karena sesuatu yang terjadi di masa lalu tapi belum bisa kita “lepas”..
Btw, makasih udah mampir..
Menurutku ada hubungannya dengan Ferdi Sambo, dimana pengetahuan tidak sesuai dengan apa yg dilakukannya. Dia pasti udah tahu dong kalau membunuh itu dosa, tapi masih aja dilakukan, huhu.
terima kasih udah mampir..
Pembajakan amygdala menarik ya utk dibahas krn masih sedikit tulisan yg mengupas ttg hal ini. Ckp bnyk penyimpangan perilaku yg terjadi bkn krn si pelaku tdk mengetahui yg dilakukannya melanggar hukum. Ya spt kasus Sambo itu lah
Iya, betul..
Makasih udah mampir di blog ini..
Pernah dengar penjelasan juga kalau orang yang mengalami masalah pada bagian amigdala, cenderung memiliki pola pikir tanpa adanya belas kasihan atau simpati sama sekali. Mereka jadi psikopat atau jadi ODGJ..ngerinya..
Ya, contohnya Ferdi Sambo, tapi ya gak bisa jadi pembenaran juga kalau nih, kalau amigdala dia rusak, terus hukumannya gak hukuman ma… Memang dianya saja yang psiko..ehehe
Haha, iyalah tetep harus dihukum setimpal..
Hari gini, udah banyak terapi kok, jadi ngga ada alesan karena ada masalah pembajakan amigdala terus jadi bisa minta dimaklumin..
Btw, makasih udah mampir di blog ini..
Artikel yang menambah wawasan….Thanks, kak sudah menuliskannya
Btw, soal real case pria yang enggak berani pedekate ke wanita yang disukainya, sepertinya ada inner child yang mesti dituntaskan dulu ya
Iya, betul..
Bisa dituntaskan dengan banyak metode terapi 🙂
Btw, makasih udah mampir..
kehilangan kontrol karena berbagai sebab. kalau saya menggarisbawahi secara psikis ada gangguan mental yang parah. klo dihubungkan dengan agama sih ada jg. Kemungkinan kurangnya beribadah bisa membuat prilaku yang buruk, meski tidak semua orang yang tidak beribadah ritual tidak melakukan itu. Tapi ada salah satu ayat yang mengatakan, “Sholat akan menghindari kita dari perbuatan keji dan munkar.” maaf bila ada kekeliruan dan menyinggung. hanya pendapat saja.
Iya, betul..
tentunya sholat yang khusyuk sebetulnya bisa jadi terapi, tapi kalo ngga khusyuk kayaknya ngga bisa..hehe..
Btw, makasih udah mampir di blog ini..
Sepertinya pada diriku terjadi pembajakan amigdala juga, nih. Sering malahan. Ini dalam hal pikiran positif, kerap aku lupa mikir positif manakala terjebak situasi buruk sekali. Tapi kemudian ingat lagi, gitu terus deh. Manusiawi sekali gak sih?
Saran saya, mungkin bisa ikut terapi 🙂
Btw, makasih udah mampir di blog ini..
Alhamdulillah dapat ilmu baru lagi, jujur Teddy sendiri baru tahu soal pembajakan amigdala ini. Kalau soal NeoKorteks sih pernah dijelaskan di kanal YouTube Guru Gembul Kak Hehe.
Jadi begitu ya, mebgapa banyak orang-orang yang saya lihat paham ini dan itu tapi perilakunya menyimpang dari ilmu yang ia miliki. Sebuah pengetahuan berharga dari artikel ini.
Terima Kasih ya Kak. Kalau Teddy sih dulu pernah masuk LDF dan ada sih nemu 1 atau 2 orang LDF yang menurut Teddy nggak pas aja hehe.
Bagus, kamu pengamat ya ternyata tipenya 🙂
Btw, makasih udah mampir di blog ini..
Menarik nih kak, saya juga pernah mendengar wawancara teman Ferdi sambo dulu. Ia mengatakan bahwa dulu sifatnya tidak seperti itu bahkan dia sangat baik. Dia berubah setelah mendapat jabatan yang sangat tinggi. Mungkin dia termasuk yang tidak kuat mendapatkan kekuasaan, sehingga terjadilah pembajakan amigdala itu.
karena belum ada kesempatan, jadi pembajakan amigdalanya belum keliatan..
btw, makasih udah mampir di blog ini..